Sebetulnya dalam tulisan ini tak ada apa-apa selain mengekspresikan kekesalan sekaligus racun tak sedap dalam jiwa saya. Terkadang saya melihat anak muda terlalu idealis. Impiannya ingin masuk universitas ternama, lantas ingin juga jadi kaya raya, tetapi sebaliknya masih tak rela untuk mengorbankan waktu nongkrong sama teman sebaya. Masih bisa haha-hihi. Tak ada yang salah dengan hal ini. Akan tetapi, bagi saya 60% isi kehidupan adalah pasal pengorbanan. Terlalu egois untuk memiliki mimpi memasuki universitas ternama tetapi tak berani ambil risiko untuk tersiksa ndak bisa haha-hihi bareng teman, ndak bisa TikTok-an. Terlalu egois untuk memiliki mimpi menjadi orang kaya tetapi tak berani ambil risiko untuk makan-makanan yang ada di rumah. Terlalu egois juga untuk memiliki mimpi menjadi orang yang punya banyak tabungan tetapi tak berani ambil risiko ndak bisa beli skincare tiap bulan.
Saya menulis ini dalam keadaan saya ditinggal orangtua saya di luar kota. Saya terpaksa jualan puisi untuk memenuhi juga uang jajan saya, yang menurut saya kurang cukup, orangtua saya jarang dalam mengirim uang. Kalaupun dikirim, bukan dalam jumlah yang segepok. Bahkan ndak sampai 200 ribu. Jangka pengiriman pun beragam. Kadang 4 hari sekali, 2 hari sekali, atau seminggu sekali, berkisar 20 ribu – 100 ribu dalam keadaan di rumah saya ndak ada persediaan apa-apa, tetapi jumlah 100 ribu hanya terbesarnya: itu pun jarang. Mungkin hanya 1 : 6. Makanan, obat, sayur, atau segala kebutuhan pokok. Dengan keadaan seperti ini saya dipaksa harus bisa memenuhi dengan cara apa pun. Saya ndak mau idealis. Saya punya mimpi jadi seorang hakim, kepengin juga lolos di UGM jalur SNBP. Saya bukan terlahir dari keluarga well-educated juga. Saya terpaksa mengorbankan apa pun yang bisa saya korbankan: waktu nongkrong, jajan, waktu main, termasuk ndak pernah beli skincare sama sekali.
Tulisan saya ini bukan bilang bahwa orang yang punya mimpi tinggi selalu idealis: tidak. Namun, dalam keadaan tertekan, in case seperti banyak hal yang belum tercukupi, pengorbanan yang dibutuhkan tak main-main. Kalau dalam keadaan terdesak, punya mimpi tinggi, tetapi masih ingin hidupnya normal … lantas masih ingin tetap bisa jalan sama temen, masih bisa 24/7 natap layar handphone ataupun masih bisa merasakan masa muda: terlalu idealis! Salah satu hal yang extraordinary perlu dikorbankan adalah “haha-hihi menghibur diri sendiri”. Berat pasti, tetapi cara buat keluar dari hal yang membelenggu perlu cara yang memaksa. Kalau nggak ada paksaan, nggak ada tekanan, nggak ada desakan, nggak akan ada individu yang mau gerak. Saya sering banget nulis tentang Fraud Triangle.
Begini, ada tiga,
1. Pressure
2. Opportunity
3. Rationalize
Kalau dalam hal yang sedang dibahas sekarang (seperti judul: Anak Muda Idealis Sekali), yang paling relevan berarti