Das Sein Sebagai Relevansi Kehidupan

Di antara semua teori hukum, atau teori “bejibun” lainnya, teori das sollen dan das sein. Ini yang paling memikat saya. Das sollen dan das sein merupakan suatu “pemahaman” bukan “teori”, sebetulnya. Das sollen diperuntuk sebagai what ought to be, sedangkan das sein diperuntuk sebagai what is. Nah, yang ingin saya bahas secara rinci di sini adalah das sein. Di sini saya akan posisikan das sollen sebagai hakikat untuk me”norma”kan das sein. Sedikit banyak semua hal yang dapat terjadi merupakan das sein. Suatu hal adalah das sollen jika belum terjadi. Mengingat das sein adalah sesuatu yang “benar” lantas “valid” maka dalam das sein baru dapat dikatakan jika memang sudah benar terjadi. Semua hal tidak dapat dikatakan sebagai das sein jika belum terjadi, semua hal yang bersifat “mengawang-awang” merupakan dimensi dari das sollen. Ranah dari das sein sendiri untuk membuka mata terhadap realitas yang sebenarnya.

Sehubungan memang relevan dalam kehidupan, individu cenderung memandang sesuatu dengan pemahaman das sollen. Das sollen adalah hal yang sangat idealis, sehingga individu memandang sesuatu sebagai hal yang seyogianya. Mari kita posisikan kriminalitas sebagai kasusnya. Kriminalitas adalah hal yang jelas salah, spesifik lagi mari kita ambil korupsi sebagai kelinci percobaannya. Mungkin kita selalu dijejelin dari SD bahwa korupsi adalah hal yang salah; benar. Namun yang menjadi masalah, apakah “jangan korupsi” adalah cara agar menghapuskan korupsi sendiri? Tidak. Sebab kata “jangan” merupakan lawan dari aksi “melakukan”. Ini sama seperti das sollen dan das sein. Secara normatif yang seyogianya maka korupsi adalah jangan dilakukan, memang benar. Di samping itu—mengaitkan pada beberapa teori, misalnya fraud dan triad—tetap memungkinkan bagi individu untuk melakukan korupsi. Sebab segala macam kemungkinan atau kesempatan dapat mendorong disorganisasi sosial terjadi. Das sein memungkinkan das sollen untuk menindaklanjutinya. Mengapa kita hidup masih sering blunder? Masih sering menanggapi konflik sebagai hal yang negatif? Merupakan sebab dari konflik extraordinary yang dipandang menggunakan pemahaman das sollen. Individu harus mampu memandang secara das sein, mungkinkah memandang konflik sebagai hal yang negatif, tetapi perlu diketahui bahwa hal tersebut tidak dapat dihindari. Das sollen hanyalah sebagai objek ideal “yang seperti apa seharusnya” sehingga das sollen berbeda dengan norma atau aturan yang mengikat kita.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari misalnya. Adakala individu dihakimi oleh orang lain disebabkan ada ketidaksesuaian diri individu dengan nilai-nilai yang ada. Secara das sein maka yang terjadi adalah individu sedang dicibir, secara das sollen berarti seharusnya individu harus bisa menyesuaikan dengan nilai-nilai masyarakatnya. Individu lain tak boleh menghakimi bukanlah dimensi dari das sollen sebab suatu respon masyarakat merupakan hal yang berbentuk kolektif. Sehingga das sollen hanya dijadikan sebagai sesuatu yang ideal. Individu yang selalu memandang sesuatu harus “seyogianya” sulit memberikan perubahan sebab nilai dalam masyarakat akan selalu berkembang karena adanya interaksi sosial. Ketika suatu norma tak mampu dalam membendungi suatu permasalahan yang ada, maka individu harus mampu dalam menyesuaikan dalam mencari solusinya. Hidup di tengah realitas bukanlah sesuatu yang mudah. Sebab das sein adalah pemahaman yang menyandang agar individu dapat terbuka pada kenyataan maka das sein justru membuat individu dapat melihat pola baru dari konflik itu sendiri. Das sein adalah hal yang menyandang kenyataan, artinya, kembali topik awal korupsi, korupsi harus dipandang sebagai sesuatu hal yang negatif yang membahayakan kelompok sosial dalam masyarakat, atau masyarakat itu sendiri, termasuk petinggi. Korupsi bukanlah diselesaikan dengan “jangan korupsi” itu sendiri, melainkan diselesaikan dengan suatu norma yang dapat menyelaraskan bagaimanakah cara agar “jangan korupsi”. Ketika sesuatu yang luar biasa selalu dipandang sebagai hal yang “seharusnya” bukanlah hal yang tidak lumrah lagi jika kriminalitas terus mengalir. Sebab tidak adanya suatu norma atau proses nyata yang menindaklanjutinya. Sehingga individu hanya berbondong-bondong menitikberatkan pada idealisme yang ada, tetapi tidak memperbaharui aturan yang ada. Meniadakan suatu hal yang harusnya ditiadakan dengan benar.

Masyarakat kita cenderung menganggap yang hal seharusnya dihapuskan tetapi justru diabaikan. Sebab adanya setidakselarasan dengan kenyataan. Misalnya di kala ada suatu konflik, justru memandang konflik tersebut sebagai sesuatu yang diabaikan. Ketika orang desa mendapatkan kritik sebab sistem yang “kumu” atau ketidakberlanjutan teknologi yang dimiliki, malah menganggap kritik tersebut sebagai hal yang diabaikan saja sebab tidak menyukai kritik. Bukanlah hal yang heran lagi jika fakta diabaikan justru melemehkan suatu aturan. Aturan adalah sesuatu hal yang update terhadap kasus terbaru, individu harus bisa memahami bahwa pandangan dari eksternal merupakan hal yang harus menjadi patokan agar mereka memperbaiki apa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai tertentu. Sumber eksternal adalah yang das sollen ketika menitikberatkan kepada idealisnya suatu objek dan akan menjadi das sollen ketika menitikberatkan pada peristiwa yang sedang berlangsung saat ini dan detik ini.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai