Hidup itu serba capek. Kadang, apa yang kita lakuin harus betul-betul berkenan di pandangan orang lain. In case kita tidak bisa memenuhi apa yang dibutuhin orang lain, ada kemungkinan malah kita yang bakalan dianggap “menjauh”. Padahal, ironis yang terjadi adalah kita yang bakalan dijauhin karena orang lain yang justru menganggap keegoisan kita adalah hal yang perlu dipertanyakan. Dalam hal ini, yang terjadi adalah karena titik temu yang saling kabur. Faktanya individu bisa saling bersosialisasi dengan nyambung ketika kehadiran titik temu. Titik temu dalam hal ini dapat disebut sebagai ketidakhadiran pandangan yang menganggap suatu aksi adalah egosentrisme. Yang terjadi ketika hal ini berlanjut adalah individu saling tolak-menolak yang disebabkan karena miss-communication, sejatinya ketika invidiu disupresuposisikan sebagai makhluk zoon politicon maka adalah individu yang membutuhkan bantuan orang lain.
“Abaikan saja…“
Dalam beberapa konteks membantu sesama sebetulnya tidak semua hal adalah yang harus kita lakukan sebab apa yang kita lakukan adalah hal yang “dapat” kita lakukan. Dimensi dari “dapat” dan “harus” adalah berbeda. “Dapat” diposisikan sebagai hal yang benar-benar dan/atau telah dan/atau menjadi hal yang ada di masa lalu. Ketika individu dapat melakukan suatu hal sejatinya karena hal itu telah terjadi dan memang benar-benar sesuai realitas yang ada. Sedangkan kata “harus” menjadi suatu yang mengikat namun belum terlaksana. Individu dipaksa melakukan hal yang seharusnya dilakukan orang lain merupakan tafsiran dari “bantuan” yang maka konotasinya adalah ought. Ought dalam konteks ini tidak terikat oleh hierarki tertentu jadi bukan suatu nilai yang akan dianggap wajib. Banyak orang yang terbelenggu dalam hal ini karena ought akan selalu mengikat terlepas dari normatif atau tidaknya. Ought adalah suatu hal yang abstrak dalam konteks mencerna “akan melakukan” atau “tidak melakukan” terhadap suatu tawaran untuk membantu orang lain. Saat mengabaikan hal tersebut hal terjadi adalah individu lain me-notice bahwa individu belum melakukan hal tersebut untuknya. Namun sebaliknya jika menolak yang terjadi adalah deprivasi relatif. Kehilangan rasa saling memiliki karena menganggap orang lain yang tidak membantunya adalah karena individu tersebut tidak berkenan, di sini titik temu memudar. Saling tolak-menolak akibat salah paham. Sama seperti artinya ketika individu merasa tindakannya membuat orang lain merasa diberatkan, maka menghindar. Seseorang yang meminta bantuan, akan merasa memberatkan. Sementara pihak yang dimintai bantuan merasa ia membuat orang lain tidak nyaman karena menolak bantuan. Banyak individu yang berlomba-lomba membuat dirinya berbeda adalah simply karena ingin menutupi hal yang justru bertolak dengan masyarakat atau individu lain. Perbedaan ini memberikan sugesti kepada setiap individu untuk mendekati perbedaan itu sendiri, karena dengan perbedaan dapat dinyatakan hal tersebut sulit dicari ketika sudah menghilang. Manusia memiliki kecenderungan mengabaikan apa yang ada di depan mata dan mencari-cari hal yang tidak ada di hadapannya. Semua yang sirna pasti akan kembali dicari keberadaannya jika memang adalah langka. Jadi, benang merahnya sudah jelas. Manusia cenderung mencari apa yang tidak dimiliki. Menolak bantuan seseorang dan meminta bantuan kepada seseorang, dapat menciptakan perasaan “berat” dan jika masih berlanjut fase manusia “mengawang-awang” apa yang terjadi selanjutnya akan di”segera”kan. Dalam fase mengawang yang dapat dimunculkan adalah perasaan negatif yang menimbulkan deprivasi relatif. Overthinking adalah yang akan menjadi pengganggu di sini. “Solusinya?” Jangan dipikirkan… Kepergian orang lain karena tindakan kita tidak sesuai dengan keinginannya adalah yang tidak dapat dikendalikan. Tindakan menganalisis kemungkinan yang terjadi memang dapat dilakukan namun hal itu tidak dapat menutup kemungkinan kekecewaan orang lain.
Orang lain kecewa, respon kita?
Persetan! Apa yang bisa kita lakukan adalah yang menjadi kemampuan kita. Karena tidak terkait terhadap nilai-nilai tertentu, maka menolak bukanlah hal yang menjadi pelanggaran. Eksistensi orang yang meminta tolong dan menolak tidak terkait tatanan sosial tertentu. Sehingga, yang meminta tolong tidak akan dinilai sebagai orang berkasta tinggi, sedangkan orang yang menolak tidak akan dianggap orang yang menolak permintaan dari “raja”. Respon kita dalam permintaan orang lain yang memang tidak ingin kita tanggapi adalah mengabaikan. Sehubungan tidak semua hal harus ditanggapi maka yang difokuskan adalah diri sendiri, bukan orang lain. Alasan mengapa orang meminta tolong simply karena dia yang tidak dapat melakukannya. Jika dilihat dari tujuan manusia yang paling sederhana adalah memperbaiki diri. Tidak semua yang kita lakukan adalah dapat diterima, baik yang meminta tolong ataupun yang dimintai tolong. Jadinya, perlu diketahui apakah yang meminta tolong juga memiliki adab yang baik atau tidaknya. Meminta tolong tidak serta-merta harus meminta tolong. Perlu disadari dan dilihat seberapa layak diri kita untuk hidup (menyenggol: “introspeksi”). Perubahan dalam diri kita adalah yang menjadi utama dalam hidup. Sebab bukanlah hal yang rasional jika meminta tolong kepada individu lain tanpa melihat seberapa banyak diri kita memberatkan orang lain. Menitikberatkan nilai dalam hal ini perlu dilihat dari dua pihak, yaitu dari yang meminta tolong ataupun yang menerima permintaan tolong. Keduanya harus memperhatikan adab. Dalam masyarakat memang sulit untuk melihat seberapa layakkah diri kita diperkenankan untuk orang lain.