Kesesatan Berpikir Masih Sering Terjadi, Bung!

Doneng Utopia Untuk Kamu Yang Terlalu Distopia
Gambar 1.1 Ilustrasi: Aldila Daradinanti/Kompas.com

• • •

PEMBUKA

Menurut Irving M Copi et al (2014), kesesatan dalam berpikir atau logical fallacy merupakan tipe argumen yang terlihat benar, tapi sebenarnya mengandung kesalahan dalam penalarannya. Kesesatan ini umumnya dapat terjadi karena manusia masih belum dapat memaksimalkan kedisiplinan pada otak, sehingga pada proses penalarannya akan cenderung keliru. Pada akhirnya, kekeliruan dalam bernalar akan menyebabkan suatu pandangan yang tidak objektif.

Sayangnya, kekeliruan ini terkadang bersifat menular. Misalnya, ketika seseorang sedang berdebat di sosial media dan ada orang yang menanggapinya dengan menyulut emosi; tidak jarang kita melihat kedua belah pihak tersebut akan memasuki pola emosional yang berkelanjutan. Jika tidak ada yang mengalah, maka titik temu dalam fallacy ini sulit untuk dihadirkan.

VALIDASI YANG TERBUAI ARGUMENTASI

Jika ada yang berkata bahwa pendapat di sosial media banyak mengandung “kesesatan dalam berpikir”, pernyataan tersebut tidak salah. Menurut Kominfo, masyarakat memiliki kebebasan dalam berpendapat, hal ini berkaitan dengan pengekspresian diri. Karena pendekatannya hingga ke individual dari masing-masing pengguna internet, kebebasan berpendapat di dunia maya tentunya jadi sulit dikendalikan. Namun, ini bukan masalah besar karena sudah ada peraturan perundangan seperti UU No.36 tahun 1999, UU No. 11 tahun 2008, dan UU No. 14 tahun 2008 untuk mengatur hal-hal seperti telekomunikasi dan keterbukaan informasi publik.

Dengan adanya data tersebut artinya kebebasan dalam berpendapat memang diperjuangkan, tetapi di sisi lain kita juga kesulitan dalam mengontrol manusia yang memiliki ideologi yang berbeda-beda. Semua kemajemukan dalam masyarakat ini dapat menjadi faktor penguat bahwa: jika kita disandingkan dalam 1 ruangan yang berisikan 100 orang, belum tentu orang yang berada dalam ruangan ini dapat berpikir secara matang. Sangat memungkinkan bila di antara 100 orang ini akan melakukan logical fallacy. Akan tetapi, apakah di antara 100 orang ini ada juga yang dapat menghindari logical fallacy? Faktanya, tentu bisa karena menusia memiliki kemampuan untuk berpikir logis. Mengutip Jurnal Hubungan Pola Berpikir Logis dengan Hasil Belajar Matematika Siswa: Studi Kasus di SMA N 1 Rajagaluh Majalengka rangkuman Indah Nursuprianah dan R.A. Fitriyah R., berpikir logis lekat dengan kemampuan memahami konsep, refleksi, abstraksi, formalisasi, hingga aplikasi.

Manusia dapat berpikir logis karena manusia memiliki sistem otak yang berfungsi untuk memproses dan mengolah informasi-informasi yang terlintas, sehingga dapat menghubungkan antar pola. Tidak hanya itu, pengalaman di masa lalu juga membawakan pada pemikiran yang logis. Semua memori yang tertuang dalam otak, dapat diproses kembali menjadi data yang konkret. Kita tidak dituntut untuk menerima semua memori itu, tetapi kita harus bisa memilih dan memilah data yang sekiranya mengandung validitas dan mencocokan dengan abstraksi berupa peristiwa yang konkret.

Dalam pencarian bukti konkret ini, juga dibutuhkan sifat saling mempertimbangkan pro dan kontra baik dari pihak A, B, C, maupun yang lainnya. Ketika kedua pihak mulai dapat melihat dari berbagai sudut pandang—tidak hanya satu—maka titik temu jauh lebih gampang dihadirkan. Dalam perdebatan logika, titik temu dibutuhkan agar informasi yang didapat tidak hanya diserap begitu saja tetapi juga dikulik lebih dalam.

Informasi yang masuk dalam kehidupan kita justru akan gawat jika semuanya diserap. Maka dari itu, akan lebih baik jika kita melakukan pemrosesan kembali agar tidak terjadi logical fallacy. Kesesatan ini justru kerap terjadi karena pola pikir yang cenderung terlalu spontan di ambang turbulensi-emosional. Seperti analogi pesawat, ketika emosi sedang mengalami turbulensi sangat sulit bagi kita untuk menyeimbangkannya kembali.

JENIS-JENIS KESESATAN DALAM BERPIKIR

Kesesatan ini sayangnya tidak hanya memiliki satu atau dua jenis kesesatan, tetapi ada banyak macam. Hal inilah yang justru membuat kita semakin terbelenggu dalam logical fallacy. Berikut adalah jenis logical fallacy yang harus diketahui.

1. Ad Hominem
Ad Hominem termasuk dalam jenis kesesatan dalam pikir yang terjadi ketika dua pihak beradu argumen. Pada jenis ini satu pihak justru menyerang pribadi pihak lain yang tidak berhubungan dengan pembahasan. Mereka akan menyerang dengan menuju pada bentuk badan, keadaan hidup, serta masih banyak lagi sehingga tak jarang saling beradu sesuatu yang bersifat berpersonal. Akibatnya, argumen justru berkutat pada aspek-aspek subjektif.

2. Straw Man
Straw Man akan mengalihkan topik pembahasan secara disengaja. Hal ini bertujuan agar pembahasan yang mereka tidak ketahui dan tidak disetujui akan beralih ke topik yang mereka buat sendiri. Dalam hal ini, pelaku cenderung melakukannya agar dapat memperlihatkan aspek-aspek superior pada dirinya sendiri. Padahal, pembahasan yang mereka buat tidak sejalur dengan topik yang sedang menjadi acuan, sehingga tidak apple-to-apple.

3. Hasty Generalization
Hasty Generalization terjadi ketika suatu pihak tidak memiliki data yang memadai. Mereka akan berargumen sesuai data yang mereka miliki sehingga akan keluar dari topik. Pada akhirnya, mereka akan mengerucutkan suatu hal yang mengakibatkan argumen tersebut menjadi streotype. Jenis logical fallacy yang satu ini dapat mengakibatkan suatu kesalahan yang fatal, karena jika argumen yang dilontarkan didengar orang awam akan bersifat menyesatkan.

4. Begging the Question
Begging the Question terjadi ketika suatu pihak gunakan pola pikir yang berputar-putar. Singkatnya, begging the quoestion akan membuat suatu argumen menjadi ambigu akibat pertanyaan yang kembali diulang menjadi pertanyaan. Ketidakjelasan ini membuat pro dan kontra bercampur hingga penjawab kebingungan.

5. Post Hoc
Post Hoc terjadi ketika kita sangat yakin kepada sesuatu, sehingga menarik garis yang berlebihan. Biasanya, Post Hoc dilakukan ketika cenderung tidak skeptis kepada pendapat pribadi sehingga tidak memikirkan sebab-akibat yang lebih luas. Yang pada akhirnya, hal ini menyebabkan opini yang dikeluarkan, belum tentu benar. Hanya berupa asumsi yang berlebihan.

6. Ad Ignorantiam
Ad Ignorantiam terjadi ketika seseorang berargumen bahwa suatu hal sama dengan hal yang lainnya sehingga menimbulkan konflik. Ketika seseorang menganggap bahwa sebuah pernyataan itu benar hanya karena tidak ada bukti atau informasi yang mengatakan sebaliknya (atau sebaliknya, menganggap bahwa pernyataan itu salah hanya karena tidak ada bukti atau informasi yang mengatakan itu benar), maka akan terjadi. Pihak yang bersangkutan akan melebihkan suatu topik dengan ketidaksetujuan. Kesalahan logika yang satu ini akan dengan mudah menganggap sesuatu “benar” atau “salah” tanpa ada pembuktian yang lebih lanjut.

7. Burden of Proof Reversal
Burden of Proof Reversal atau pembuktian secara terbalik terjadi ketika seseorang berargumen tetapi ketika ditanyakan alasannya, orang itu akan meminta orang lain memberikan alasan. Hal ini sering terjadi ketika seseorang berargumen hanya berdasarkan hal-hal yang bersifat umum, sehingga akan lebih mudah untuk menyetujuinya. Padahal, belum tentu itu adalah kebenarannya.

8. Non Sequitur
Non Sequitur terjadi ketika argumen yang disampaikan seseorang benar tapi kesimpulannya salah. Bisa juga terjadi ketika argumen dan kesimpulannya sama tetapi keduanya tidak berhubungan dan tidak logis. Sesat pikir ini sering terjadi ketika debat adu argumen berjalan. Sehingga, pernyataan atau argumen yang tidak terkait atau tidak logis atau tidak konsisten dengan konteks pernyataan atau argumen sebelumnya.

FREEDOM OF SPEECH KOK MENGKRITIK?

Memang benar, saat kita berargumen maka ada yang namanya freedom of speech. Akan tetapi, freedom of speech adalah hak asasi manusia yang melindungi individu untuk mengungkapkan pendapat, pikiran, dan ide tanpa rasa takut atau hambatan dari pihak pemerintah atau kelompok kepentingan lainnya. Freedom of speech adalah salah satu nilai inti yang tercantum dalam konstitusi dan diakui secara internasional sebagai hak yang fundamental dan universal. Hak ini juga dilindungi oleh hukum, dan dianggap sebagai dasar bagi demokrasi dan masyarakat yang terbuka. Sehingga, dalam freedom of speech yang dilindungi hanyalah “kebebasan”-nya dalam berpendapat, freedom of speech tidak mendukung fallacy-nya. Maka dari itu, ketika ada kesesatan yang berpikir bukan lagi bersangkutan dengan “kebebasan”, melainkan dengan “fakta”.

Dengan adanya kemajemukan pola pikir setiap individu, kebebasan harusnya berkutat kepada hak-hak yang diperjuangkan, bukan kesesatan yang dipertahankan. Sebab, dalam kehidupan ini kita telah menghirup udara yang berbeda. Akibatnya, kesesatan ini akan selalu berkelanjutan—yang mungkin tidak dapat diberantas—tetapi dapat dicegah. Saat kita berargumen, adakalanya jangan mudah terprovokasi. Informasi-informasi yang terlintas di iris mata kita bukanlah suatu alasan untuk kita tersulut untuk terus-terusan mengeluarkan pandangan pribadi. Justru, dengan adanya informasi yang terlintas kita harusnya dapat mempertimbangkan pro dan kontra apa saja yang dapat terjadi.

PENUTUP

Kita terkadang masih sulit dalam mempertimbangkan mana informasi yang patut diberi panggung dan mana yang tidak? Pada akhirnya, kita cenderung labil pada diri sendiri dan tidak mau mengontrol diri. Hal ini mengakibatkan kesesatan berpikir semakin menjelma di lubuk hati. Apalagi jika melihat suatu konten yang berpotongan dengan idealisme pribadi, manusia cenderung tertarik untuk saling berkomentar. Hal yang lumrah jika melihat argumen yang saling beradu. Berbagai macam paksaan dari kedua belah pihak ataupun lebih, cenderung saling mengancam hingga menjadi koersif. Padahal jika ada salah satu yang mencoba untuk memahami pro dan kontra, argumen tersebut akan jauh lebih rasional. Rasionalitas dalam berkomentar masih belum bisa dipertanggungjawabkan hingga sekarang. Ini adalah buah dari akar ke”egois”-an manusia.

Dengan adanya artikel ini, diharapkan agar audiens jauh lebih memahami mengenai logical fallacy serta dapat mengerti bahwa logical fallacy kerap terjadi karena adanya pihak yang sama-sama tidak ingin menghadirkan titik temu.

Akhir kata, “Manusia memang didesain untuk memiliki ide-ide pribadi, tetapi di sisi lain manusia tidak didesain untuk bisa menerima semua pandangan. Sebab itu juga, di sisi lain manusia didesain untuk memiliki kemampuan mengontrol dirinya agar dapat menyandingkan informasi yang ia terima dengan aspek-aspek eksternal, tidak hanya internal.”


Sekian. Salam saya, Thersia Phardeid si anak yang katanya selalu menjadi pilihan kedua….

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai