Menghakimi: BUDAYA PALING NYAMAN!

Mulut kita sulit untuk tidak mengomentari. Lagipula, fungsi mulut memanglah untuk berujar, kan? Masalahnya, terkadang kita sulit untuk menitikberatkan mana yang menjadi suatu masalah dan mana yang tidak lantas hal yang dianggap benar akan selalu dianggap benar. Pembenaran ini pun terjadi karena kehadiran “tempo” yang lambat laun menjadikan pandangan yang kita serap, menjadi suatu kebiasaan yang manusia anggap sebagai sumber kebenaran. Nyatanya, semua hal yang kita ucapkan adalah hasil dari proses panjang yang telah kita cerna di masa lalu. Tidak percaya? Mari kita buktikan…

Ketika deruh dari jam dinding mulai menghadirkan dirinya, lantas kita memegang berbagai macam jenis buku bacaan. Ya, katakanlah sedang berada di perpustakaan. Kita lantas mencari buku. Yang pastinya, kita membaca berdasarkan penalaran kita. Sebagai manusia tidak akan mencari buku yang tidak dipahami. Sebab, otak manusia akan perlu waktu yang panjang untuk memproses hal yang tidak diketahuinya. Manusia cenderung mencari lebih banyak referensi untuk mengetahui hal-hal yang belum diketahui. Berbeda ketika ia membaca atau menyaksikan hal yang sudah ia ketahui dan inilah yang disebut sebagai “budaya”.

E.B Tylor (1832-1917): “Budaya adalah suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keilmuan, adat istiadat, dan kemampuan lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.”

Budaya memiliki kesinambungan dengan moral dan kepercayaan manusia. Apa yang menjadi moral manusia adalah apa yang mereka percayai. Ketika mereka melihat sesuatu yang bertentangan dengan hal itu, secara spontan mereka memiliki tendensi untuk menghakimi. “Mengapa demikian?” Karena manusia dimodelkan untuk menyelaraskan oleh adanya dinamika.

Sebab dan Akibat Manusia

Karena “akibat” pasti berasal dari “sebab”. Nah, percaya atau tidak percaya, naluri manusia itu adalah menyerap berdasarkan apa yang dilihat. Sebab, yang dilihat adalah hal yang jelas paling nyata terpampang oleh indera. Hal-hal yang berkaitan abstrak-teoritis sejatinya terlalu visioner. Perlu adanya “mengawang” untuk mengetahui apakah “fakta A yang harus saya percayai atau justru fakta B, kemudian fakta C?” adalah sejatinya dipresuposisikan sebagai analisis lebih lanjut ketika fungsi otak berhasil menghakimi apa yang dianggap sebagai dasar yang faktual.

Intuisi

Jadi, dalam mengeksekusi suatu fakta adalah hal yang harus dipaparkan atau tidaknya, merupakan fungsi intuisi manusia. Bukan lagi ranah “mata” atau “mulut”. Sebab mulut dan mata hanya mencocokkan atas hal yang selama ini dipercayai oleh individu tersebut. Mengenai eksekusi atas fakta baru adalah fungsi dari ketajaman intuisi manusia. Untuk menghubungkan antar-pola merupakan hal yang sifatnya utopis, yaitu sulit direalisasikan menjadi fakta yang bersifat “bisa dipegang”.

Sebenarnya mengenai torehan dari mulut lantas diserukan kepada orang lain bukanlah kesalahan. Tidak ada sopan santun di dalam kepercayaan atau paradigma yang selama ini manusia percayai. Namun ketika yang dipercayai selalu dititikberatkan kepada “barang bukti yang seharusnya dieksekusi” adalah suatu masalah dalam lingkup sosial.

Sebab dengan adanya berbagai macam dinamika artinya suatu paradigma selalu berkembang. Akan hal inilah suatu pola akan terhubung, atau dapat disebut sebagai rantai dari fakta yang seharusnya diaktualisasikan menjadi “barang bukti” ketika hendak mengeksekusi penghakiman.

Percaya terhadap suatu hal beda dimensinya dengan fanatisme. Jadi ketika ada individu yang berkata ia tidak fanatisme tetapi ia kekeuh dengan subjektivitas, itulah yang disebut sebagai “masalah”. Ketidakkonsistenan dalam berpikir. Akar dari suatu perkataan yang demikian biasanya tercetus ketika manusia ingin mempertahankan argumennya saat berdebat.

“Ah… Gak… Saya sebenarnya bukan bermaksud menghakimi tetapi memang begitu faktanya…”

Sebenarnya, apa itu dimensi dari “fakta”? Apa yang menjadi fakta bagi individu tidak menjadikannya fakta bagi individu lain dan di sinilah peran dari abstrak-teoritis akan berlaku. Intuisi untuk saling membuka fakta dan berdebat akan lebih terbuka.

Jadi jangan heran ketika menghakimi adalah budaya yang comfort zone… Karena sejatinya memang mengucapkan hal yang ada di pengetahuan kita adalah hal yang dahsyat nikmatnya. Kita hanya perlu menorehkan hal yang kita ketahui, lantas mengabaikan hal-hal yang tidak kita ketahui. Nah. Kurang nikmat apalagi?

Cis… Mulutnya tertawa, tampangnya terdakwa…

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Mulai